Rabu, 26 Maret 2008

Ketika Hilangnya Kepercayaan Diri

Ketika kecil dulu, saat masih duduk di sekolah dasar sekitar tahun 90an, aku sering mendengar dan menyaksikan orang yang pandai mengolah kata atau berbicara di depan umum yang lebih dikenal dalam bahasa keseharian kita dengan sebutan mubaligh atau penceramah. ketika aku mendengar para penceramah terdetik di hatiku ingin seperti mereka yang pandai berbicara di depan umum.
Aku menganggap semua itu adalah hal yang mudah dilakukan dan tanpa adanya persiapan. anggapan ini terbawa sampai aku duduk di kelas satu Tsanawiyah. di sekolah tempat aku menuntut ilmu, jadwal kegiatan di pagi hari sebelum masuk kelas tepatnya pada pukul 07:00 sampai 07:30 selain hari senin dan sabtu adalah kuliah tujuh menit (kultum).
Jadwal petugas untuk kultum sudah dipampang di papan pengumuman seminggu sebelum bertugas. suatu hari aku dipanggil oleh ustadzku untuk datang ke kantor. dia mengatakan bahwa aku bertugas menjadi pembicara esok hari menggantikan pembicara yang berhalangan lantaran sakit. yang ada dalam pikiranku masih anggapan yang dulu yaitu "gampang dan mudah".
keesokan harinya ketika acara kultum dimulai aku mendapat giliran untuk menyampaikan
pembicaraanku pertama. setelah mengucapkan salam dan syukur serta salawat nabi debaran di dadaku semakin kencang, keringat dingin bercucuran tanpa kompromi, kakiku tak mau tenang, sekujur tubuhku menggigil seperti orang kedinginan. bukan hanya keringat saja yang mengalir, tapi air mata ikut berpartisipasi dalam menambah beban malu yang aku derita.
hilang semua kepercayaan diriku luluh lantak tak tersisa karena aku tak mengucapkan sepatah katapun dalam kultum tersebut kecuali salam dan syukur serta salawat saja. setelah kejadian itu aku merasa takut bila tiba giliranku untuk menyampaikan ceramah atau pidato. namun itu semua menjadi pelajaran bagiku agar lebih mempersiapkan diri dan tidak menggampangkan segala sesuatu.

Tidak ada komentar: